KUPANG, POS KUPANG.Com -- Daya saing ekspor komoditi dari NTT masih lemah akibat minimnya pemetaan dan perhatian terhadap sektor-sektor unggulan. Kondisi ini disebabkan pola konsumsi masyarakat NTT umumnya masih tergantung dari luar. Hal ini disampaikan Prof. Dr. Vincent Gaspersz, saat menyampaikan materi dalam diskusi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Kupang di ruang kuliah Magister Manajemn (MM) Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Senin (12/10/2009).
Diskusi ini kerja sama ISEI dengan Unwira dan Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang. Hadir saat itu sejumlah dosen ekonomi dari Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang dan Unwira Kupang, anggota Forum Academia NTT (FAN), Bappeda NTT dan pelaku ekonomi lainnya. Diskusi terbatas dengan moderator, Dr. James Adam, hanya menampilkan pembicara tunggal, Prof. Dr. Vincent Gaspersz.
Menurut Gaspersz, berbicara soal kemajuan dan kemunduran ekonomi di NTT membutuhkan indikator yang jelas dan perlu dilihat secara keseluruhan. Dalam kenyataan, lanjutnya, NTT mengalami defisit yang cukup besar, yaitu proses impor lebih tinggi dibandingkan ekspor. "Ini menunjukkan sebuah daya saing ekspor yang sangat lemah atau kemunduran dalam daya saing. Kondisi ini akibat pola konsumsi orang NTT yang masih berasal dari luar. Bagaimana mungkin bisa ekspor, sementara bahan mentah kita ekspor kemudian kita beli lagi hasilnya yang sudah diolah di luar NTT," kata Gaspersz.
Dia menjelaskan, defisit akibat impor yang berlebihan menyebabkan ketergantungan orang NTT terhadap produk dari luar daerah sangat tinggi, padahal potensi yang ada di NTT cukup besar. "Kita tanam pisang, panen pisang dan jual keluar NTT lalu kita beli kripik pisang. Daya saing untuk ekspor jelas tidak ada karena semua komoditi yang kita hasilkan tidak diolah untuk peningkatan nilai tambah, tapi kita jual mentah," papar Gaspersz.
Untuk itu, tegas Gaspersz, NTT sangat membutuhkan industri pengolahan pertanian yang jelas dan paten sehingga hasil pertanian unggulan bisa diolah di NTT.
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi NTT tahun 2008 sebesar 4,81 persen, hal mana pertumbuhan ekonomi tertinggi Kabupaten Ende sebesar 8,62 persen dan terendah Kabupaten Sumba Tengah sebesar 2,42 persen. Bahkan rata-rata pendapatan per kapita NTT sebesar Rp 4,4 juta. "Kita bisa lihat sendiri, pembagian kabupaten atau pemekaran umumnya tidak beri arti dari segi kesejahteraan. Benar ada pemekaran wilayah untuk pelayanan publik, tapi tidak tampak kesejahteraan," kata Gaspersz.
Salah satu pendekatan yang cocok untuk memecahkan masalah pembangunan sumber daya manusia di NTT, demikian Gaspersz, mengintegrasikan bidang-bidang ekonomi, pendidikan dan pelatihan, selain sektor kesehatan dan gisi secara terpadu.
Sedangkan dari sisi transaksi berjalan perekonomian di NTT berkaitan dengan ekspor dan impor, ungkap Gaspersz, tahun 2004 terjadi defisit Rp 0,8 triliun dan tahun 2008 sebesar Rp 3,8 triliun. Sementara ekspor yang pada tahun 2004 sebesar Rp 2,8 triliun, pada tahun 2008 sebesar 4,5 triliun. "Angka impor di NTT cukup tinggi pada 2004 sebesar Rp 3,7 triliun dan tahun 2008 sebesar Rp 8,3 triliun. Ini menunjukkan angka ketergantungan NTT dari luar masih tinggi, akibat lemahnya daya saing," ujarnya.
Perseveranda, salah satu peserta diskusi mengatakan, daya saing di NTT sebenarnya tidak lemah, namun akibat sektor-sektor unggulan yang bisa diandalkan tidak dikelola secara baik.
Dia menyarankan, ke depan perlu keseriusan meningkatkan daya saing ekspor dengan cara peningkatan mutu atau nilai tambah produk/komoditi yang ada di NTT. "Terkadang masyarakat kita sudah puas dengan apa adanya, selain dari aspek budaya yang masih mengikat. Kondisi ini yang saya kira juga memicu daya saing rendah," kata Perseveranda.
Sementara Robert, peserta diskusi dari PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tanoba Lais Manekat Kupang, mengatakan, daya saing produk NTT cukup dipengaruhi kualitas sumber daya manusia. (yel)
Source: http://www.pos-kupang.com/read/artikel/37003
Diskusi ini kerja sama ISEI dengan Unwira dan Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang. Hadir saat itu sejumlah dosen ekonomi dari Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang dan Unwira Kupang, anggota Forum Academia NTT (FAN), Bappeda NTT dan pelaku ekonomi lainnya. Diskusi terbatas dengan moderator, Dr. James Adam, hanya menampilkan pembicara tunggal, Prof. Dr. Vincent Gaspersz.
Menurut Gaspersz, berbicara soal kemajuan dan kemunduran ekonomi di NTT membutuhkan indikator yang jelas dan perlu dilihat secara keseluruhan. Dalam kenyataan, lanjutnya, NTT mengalami defisit yang cukup besar, yaitu proses impor lebih tinggi dibandingkan ekspor. "Ini menunjukkan sebuah daya saing ekspor yang sangat lemah atau kemunduran dalam daya saing. Kondisi ini akibat pola konsumsi orang NTT yang masih berasal dari luar. Bagaimana mungkin bisa ekspor, sementara bahan mentah kita ekspor kemudian kita beli lagi hasilnya yang sudah diolah di luar NTT," kata Gaspersz.
Dia menjelaskan, defisit akibat impor yang berlebihan menyebabkan ketergantungan orang NTT terhadap produk dari luar daerah sangat tinggi, padahal potensi yang ada di NTT cukup besar. "Kita tanam pisang, panen pisang dan jual keluar NTT lalu kita beli kripik pisang. Daya saing untuk ekspor jelas tidak ada karena semua komoditi yang kita hasilkan tidak diolah untuk peningkatan nilai tambah, tapi kita jual mentah," papar Gaspersz.
Untuk itu, tegas Gaspersz, NTT sangat membutuhkan industri pengolahan pertanian yang jelas dan paten sehingga hasil pertanian unggulan bisa diolah di NTT.
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi NTT tahun 2008 sebesar 4,81 persen, hal mana pertumbuhan ekonomi tertinggi Kabupaten Ende sebesar 8,62 persen dan terendah Kabupaten Sumba Tengah sebesar 2,42 persen. Bahkan rata-rata pendapatan per kapita NTT sebesar Rp 4,4 juta. "Kita bisa lihat sendiri, pembagian kabupaten atau pemekaran umumnya tidak beri arti dari segi kesejahteraan. Benar ada pemekaran wilayah untuk pelayanan publik, tapi tidak tampak kesejahteraan," kata Gaspersz.
Salah satu pendekatan yang cocok untuk memecahkan masalah pembangunan sumber daya manusia di NTT, demikian Gaspersz, mengintegrasikan bidang-bidang ekonomi, pendidikan dan pelatihan, selain sektor kesehatan dan gisi secara terpadu.
Sedangkan dari sisi transaksi berjalan perekonomian di NTT berkaitan dengan ekspor dan impor, ungkap Gaspersz, tahun 2004 terjadi defisit Rp 0,8 triliun dan tahun 2008 sebesar Rp 3,8 triliun. Sementara ekspor yang pada tahun 2004 sebesar Rp 2,8 triliun, pada tahun 2008 sebesar 4,5 triliun. "Angka impor di NTT cukup tinggi pada 2004 sebesar Rp 3,7 triliun dan tahun 2008 sebesar Rp 8,3 triliun. Ini menunjukkan angka ketergantungan NTT dari luar masih tinggi, akibat lemahnya daya saing," ujarnya.
Perseveranda, salah satu peserta diskusi mengatakan, daya saing di NTT sebenarnya tidak lemah, namun akibat sektor-sektor unggulan yang bisa diandalkan tidak dikelola secara baik.
Dia menyarankan, ke depan perlu keseriusan meningkatkan daya saing ekspor dengan cara peningkatan mutu atau nilai tambah produk/komoditi yang ada di NTT. "Terkadang masyarakat kita sudah puas dengan apa adanya, selain dari aspek budaya yang masih mengikat. Kondisi ini yang saya kira juga memicu daya saing rendah," kata Perseveranda.
Sementara Robert, peserta diskusi dari PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tanoba Lais Manekat Kupang, mengatakan, daya saing produk NTT cukup dipengaruhi kualitas sumber daya manusia. (yel)
Source: http://www.pos-kupang.com/read/artikel/37003
kapan NTT bisa bersaing di level lebih tinggi kalau semua jajaran pemerintah tidak mau mendukung dan lebih mementingkan perutnya sendiri...!!!! Ayo berjuang demi NTT
ReplyDelete